Selasa, 22 Mei 2018

Beginikah Sepakbola Indonesia ?



Lebih dari 100.000 suporter berbondong-bondong menuju Jakarta dengan jarak ratusan kilometer bahkan banyak warga Jakarta asli yang menyaksikan laga final di era perserikatan untuk menyaksikan Persib Bandung dengan PSMS Medan pada saat itu di Stadion Utama Gelora Bung Karno yang memang pada saat itu menarik animo penonton dari seluruh kalangan masyarakat Indonesia.

Ratusan ribu suporter dari klub kebanggaan ibu kota Persija Jakarta yaitu The Jakmania dan juga Persib Bandung yang memiliki basis suporter yang tidak kalah besar juga yaitu Bobotoh yang ingin langsung merasakan atmosfer laga el clasico Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno bahkan di Bandung langsung yang menjadi sebuah halangan sampai sekarang dari dua kubu suporter tersebut untuk saling bertemu. Dan juga masih banyak laga derby yang tidak kalah menarik untuk menarik perhatian dari seluruh kalangan masyarakat Indonesia seperti laga pertandingan Persebaya melawan Arema Malang yang menjadi laga penuh emosi dari kedua suporter tersebut yaitu Bonek Mania dan Aremania yang menjadi rivalnya.

Tulisan ini saya ceritakan bagaimana keadaan dan sebegitu berapa pengaruhnya sepakbola Indonesia sekarang? mungkin sekarang sepakbola olahraga yang dijadikan hobi utama dan dijadikan kebudayaan baru oleh masyarakat Indonesia. Bahkan dijadikan sebuah kewajiban, ibarat ibadah yang tidak boleh ditinggalkan. Sepakbola di Indonesia telah menjalar ke semua kalangan, maupun dari kalangan anak kecil, remaja, dewasa, bahkan dari kalangan yang sudah lanjut usia dan yang masih balita. Termasuk saya yang juga suka dengan sepakbola di Indonesia yang hobinya ke stadion untuk mendukung langsung klub kesayangan saya Persija Jakarta dibandingkan dengan sepakbola luar negeri yang tidak kalah menarik juga. Tetapi bagi saya, menyukai sepakbola didalam negeri sendiri itu lebih baik, karena kita bisa mengikuti perkembangan sepakbola kita sendiri dan dijadikan sebuah pengetahuan yang lebih luas.

Andai dulu bukan Belanda yang menjajah Indonesia, andai dulu sepak bola hanya dimainkan di lapangan rumput, apa yang terlihat di final Piala Presiden antara Persija dengan Bali United yang langsung dihadiri ratusan ribu suporter Jakmania yang memungkinkan tidak semuanya bisa masuk ke dalam stadion, sebuah turnamen pendek tapi mampu membuat penggila bola memadati SUGBK tidak akan terjadi.

Yang saya dapat informasi dari banyaknya media bahkan melihat dengan mata saya sendiri dengan langsung banyak yang rela bepergian jauh dengan menggunakan sepeda, jalan kaki mengelilingi Indonesia bahkan ke luar negeri untuk menyaksikan pertandingan langsung tim kebanggaannya dengan cara mereka sendiri untuk sampai ke stadion. Sungguh sangat disayangkan dan mengerikan bila hanya menonton bola dengan cara seperti itu. Tapi inilah salah satu ciri khas dari sepakbola di Indonesia yaitu dikalangan suporternya yang terus bernyanyi dan tidak kenal lelah mendukung tim kebanggaannya bertujuan menjatuhkan mental pemain lawan.

Tetapi suporter Indonesia kelakuannya banyak yang melewati batas, sampai-sampai menghilangkan banyak nyawa orang dari kalangan antar suporter yang menjadi sasarannya karena terlalu fanatik dan mementingkan egoisme dari kelompok suporter itu sendiri, meskipun sekarang sudah mulai membaik dan mewujudkan jiwa nasionalisme pada diri mereka.

Hal yang menarik dalam sepakbola Indonesia adalah politik dan sepakbola sudah menjadi satu kesatuan. Mengapa demikian? karena politik dan sepakbola tidak bisa dipisahkan. Banyak orang yang memanfaatkan dunia sepakbola sebagai dunia politik. Sebenarnya manusia itu selalu berpolitik, anda tidak akan bisa melepaskan diri dari politik “Yang ada itulah yang berkuasa”, kata yang tidak asing lagi didunia persepakbolaan.

Sudah banyak contoh-contoh seperti itu, dimulai dari harga tiket pertandingan laga kandang Persija Jakarta yang begitu sangat mahal dibandingkan dari klub-klub lainnya. Mengapa begitu? Dilihat dari suporternya itu sendiri (Jakmania) merupakan salah satu suporter terbesar di Indonesia, walaupun harga tiket mahal tetapi stadion tetap saja terisi penuh. Hal itulah yang membuat mafia dalam sepakbola yang berkesempatan membuat tiket Persija menjadi mahal. Contoh lain yang lebih parah yaitu ketika federasi sepakbola tertinggi di Indonesia terbagi dua, yaitu PSSI dan KPSI. Bagaimana mungkin jadinya jika terbagi menjadi dua? Hal itu juga yang membuat liga Indonesia menjadi dua, yaitu ISL dan IPL. Kebijakan aneh yaitu pemain yang bermain di ISL tidak boleh membela timnas. Hal itu membuat merosoknya sepakbola Indonesia, karena pemain di ISL bisa dibilang 80% pemain berpengalaman dibandingkan IPL yang rata-rata pemain baru. Contoh lainnya banyak klub-klub yang terbagi dua, maka banyak orang yang menanyakan mana yang asli dan mana yang palsu. Hal terburuk yaitu saat Indonesia melawan Bahrain, pada saat itu Indonesia kalah 10-0 karena banyak pemain IPL yang diturunkan. Padahal FIFA mewajibkan sebuah negara untuk menurunkan pemain yang berpengalaman. Dan hal yang terbodoh di persepakbolaan Indonesia yang bisa dibilang suatu respect dari kelompok suporter saat membentangkan spanduk atau koreografi untuk aksi kemanusiaan itu malah disebut politik bahkan dikenai denda yang cukup besar. Seperti Bobotoh membuat koreografi bertulisan “Save Rohingya”, The Jakmania membentangkan spanduk “Save Ulama“ malah dikenai denda yang menurut saya tidak kecil.

Pertanyaannya, sampai kapan sepakbola di Indonesia bebas dari mafia? Mungkin butuh waktu lama untuk membuat benar-benar bersih sepakbola Indonesia bebas dari mafia. Dan mungkin sampai kapanpun persepakbolaan di Indonesia tidak akan pernah bebas dari politik dan mafia, dikarenakan sudah merupakan satu kesatuan. Karena sepakbola olahraga yang banyak digemari oleh orang banyak. Mungkin dari sisi itu mafia masuk ke dalam area sepakbola. Bahkan sampai ada celetukan “Sepakbola tanpa mafia bagaikan makan sayur tanpa garam”. 

Hilal Aulia Pasya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar